BELAJAR PADA ORANG LAIN
Surat ijin,
Itulah yang bikin ribet jika disuruh
membuat surat untuk meminjam gedung. Bukannya malas tapi bertemu dengan
petugas-petugasnya yang bikin naik darah. Belum lagi saat suratnya disuruh
revisi tambah stres. Berkali-kali balik ke kantor tak terhitung dan berapa banyak biaya serta
waktu yang terbuang. Kejadiaan menjadi
tantangan tersendiri yang tetap di hadapi karena sudah tanggung jawab.
Tak terasa cacing-cacing perut
berteriakan kesana kemari meminta untuk di beri makan. mata tertuju pada
makanan di ujung jalan sana dengan aroma khas
yang tercium di tempatku berada sekarang ini. Melihat orang-orang
mengantri membeli makanan itu membuatku tertarik untuk mencicipinnya. Setelah
aku lihat ternyata aroma harum yang berasal dari bakmie pok iyem. Makanan ini
memang menjadi vaforit bagi pengunjung yang dating di tempat itu. Harga yang
murah di tambah cita rasa yang khas membuat pngunjung berbondong-bondong datang
untuk membelinya bahka sampai memesan puluhan mangkok untuk keluarganya.
“ bu, pesan bakmie satu mangkok tanpa
sambal ya”. Pesanku sambil melihat kurrsi yang sudah kosong.
Duduk menikmati bakmie pok iyem dengan
suasana perdesaan yang terhampar menambah suasana dihati dan melupakan sejenak
dengan revisi surat perijinan gedung.
Terlihat nenek ringkih yang datang untuk duduk
sejenak diwarung penjual bakmie pok iyem dan sesekali mulutnya dibasahi dengan
tetesan air yang dibawanya. Nenek itu lalu ku dekati dan mengajaknya untuk
makan bersama.
“Nenek sudah makan?” Tanyaku sambil
mendekatinya.
Nenek itu hanya menggelengkan kepala, entah
apa maksud dari gerakan kepala itu.
“Nenek habis dari mana?”. tanyaku
kembali pada nenek itu.
Jawabanpun serupa dengan jawaban
sebelumnya. Aku kembali bertanya untuk ketiga kalinya tapi jawabannya tetap
sama. Pikiranku berubah dan bertanya-tanya.
“ Mungkinkan nenek ini tidak bisa
bicara?. Terus kenapa dengan nenek ini. Habis darimana dia?. Wajah dan bajunya
penuh dengan keringat yang menyelubungi badannya. Apakah nenek ini masih
bekerja dengan badan yang seringkih ini”. Lamunku sejenak.
Nenek itu tiba-tiba pergi saat melihat
sosok laki-laki tinggi dengan muka yang menyeramkan yang datang kewarung itu.
“Nenek… Nenek jangan pergi”. Teriakanku
sembari membayar bakmie yang saya makan tadi.
Nenek itu dengan tertatih-tatih mecoba
berlari menghindar dari laki-laki itu. Dengan mulut yang mengaung-ngaung
seakan-akan meminta tolang dan ketakutan untuk menjauhkan darinya. Ku kejar
nenek itu dengan menenangkannya dan membawanya ketempat yang nyaman.setelah
tenang, nenek itu mulai aku ajak bicara.
“Nenek, mengapa tadi nenek berlari?”.
Nenek kenal dengan orang tadi?”. Tanyaku dengan mengusap keringat yang
membasahinya.
“Menggangguk”. Itulah jawaban yang
diberikan kepadaku.
Pikiranku muncul kesedihan karena
ternyata nenek ini tidak bisa berbicara dan aku tidak tahu mengapa dia sampai
ketakutan melihat laki-laki itu.
“Nenek, Perkenalkan nama saya Mirta.
Nenek tinggal dimana?”. Memperkenalkan diri sekaligus bertanya.
Bahasa tubuh yang dimilikinya, nenek ini
mau menjawab dengan gerakan tangannya. Aku mulai melihat setiap gerakan yang di
buat nenek itu dan akupun mengerti. Tak sia-sia dulu aku pernah belajar cara
membaca lewat gerakan tangan.
Senja semakin meredup, langin mulai tak
bersahabat, ku putuskan untuk mengantar nenek ini pulang kerumahnya. Terlihat
pekarangan rumahnya yang bersih dan lerlihat tanaman obat-obatan disana. Mata
ini tak tertuju saja pada tanaman itu. namun, asap yang keluar dari satu rumah
itu. Ternya itu merupakan rumah nenek ini.
Sesampai dirumah terlihat sosok
perempuan kecil, kurus berambut cepak sedang memasak di dapur tanah dengan asap
yang menggelung tinggi. Dia menyambut kami dengan lemah lembut. Ternyata
cucunya nenek yang namanya Sitoh.
Pikiranku masih teringat tentang
laki-laki besar yang kulihat tadi siang dan membuat nenek ini ketakutan. Ku
putuskan untuk menginap di rumah ini dan merasakan hal yang belum pernah aku
rasakan sebelumnya.
Sitoh melanjutkan memasaknya. Aku
menghampirinya sambil melihat apa yang dimasknya di dalam panci itu. Hanya
rebusan singkong hingga aku bertaya kepada Sitoh.
“Dek, sayur singkong ini mau kamu
apakan?”. Tanyaku sambil mengupas bawang pih.
“Ini hanya saya rebus saja kak. Nanti
buat makan malam”. Jawabnya sambil meniup kayu yang ada di tungku itu agar
menyala lagi.
“Kamu sama nenekmu makan seperti ini
tiap hari dek?”. Tanyaku agak prihatin.
“Ini kami sudah beruntung kak makan
pakai sayur dan ada sedikit nasi di meja sana. Biasanya kami makan hanya sayur
yang di ambil di perkarangan depan. Jika tananaman sayur habis, makan kami
terpaksa puasa dan pergi ke pasar untuk mencari sisa sayuran yang masih layak
kami makan”. Jawabnya dengan tatapan mata yang tak merasakan banhwa ini bukan
penderitaan.
“Kalian tinggal berdua di sini. Kedua
orang tuamu kemana dek?”. Lanjut tanyaku kembali.
“Iya kak. Kami tinggal berdua. Orang tua
saya merantau ke Medan untuk bekerja”. Jawabnya dengan wajah yang tertunduk
kebawah.
“Orang tuamu pernah pulang dek?.
“Begini kak, waktu itu orang tua sanya
memutuskan untuk bekerja kemedan. Orang tua saya ikut perusahaan yang menaungi
pekerja yang mau bekerja ke Medan. Sampai sekarang mereka belum pernah pulang.
“. Menjawab dengan air mata mengalir dari pipi manisnya seakan rindu yang
mendalam yang di rasakan anak itu.
“Tadi waktu ketemu nenek di jalan,
beliau melihat laki-laki berbadan besar lalu ketakutan, itu kenapa ya dek?” tanyaku kembali pada anak
berambut cepak ini.
“Orang itu sering datang kesini kak,
karena dulu kami pernah berhutang kepada atasannya. Waktu itu untuk biaya rang
tua saya pergi ke Medan. Setelah kepergian mereka, nenek bekerja keladang orang
untuk menyambung hidup dan membayar hutang. Laki-laki itu selalu mengancam
nenek bila tak bisa membayar hutangnya akan mengambil aku dan akan di
perkerjakan. Makanya sampai sekarang nenek merasa ketakutan melihatnya”.
Jawabnya sambil menangis.
Mendengar ceritanya, air mata ini juga
tak bisa terbendung untuk mangeluarkan air mata. Jaman modern yang semakin
canggih ini ternyata masih ada nenek yang bekerja keras untuk mempertahankan
keluarganya. Tak mau menyusahkan orang lain dan kuat untuk menghadapi cobaan
yang dihadapinya.
Malampun datang, makananpun siap. Kami
berkumpul bertiga merasakan makanan yang menurutku asing. Namun melihat mereka
makan dengan lahap dengan tambahan sambal yang saya buat tadi membuatku ingin
mencobanya dan ternyata enak. Tengah-tengah kami makan tersering canda tawa
dari celotehan nenek. Ternyata nenek waktu mudanya seorang sinden di desanya.
Suarana enak dan kehagatanpun sangat terasa di rumah ini.
Matahari sudah menampakan sinarnya
nenandakan hari sudah pagi dan semua orang mulai beraktifitas. Waktuku di rumah
keluarga segera berakhir karena aku harus kembali ke kantor untuk mengurus
surat yang ku tinngal selama satu hari
kemarin. Pamitku kepada nenek dan anak kecil berambut cepak ini. Perpisahan ini
berakhir dengan senyuman.