Rabu, 08 Juli 2015



BELAJAR PADA ORANG LAIN

Surat ijin,
Itulah yang bikin ribet jika disuruh membuat surat untuk meminjam gedung. Bukannya malas tapi bertemu dengan petugas-petugasnya yang bikin naik darah. Belum lagi saat suratnya disuruh revisi tambah stres. Berkali-kali balik ke kantor  tak terhitung dan berapa banyak biaya serta waktu yang terbuang.  Kejadiaan menjadi tantangan tersendiri yang tetap di hadapi karena sudah tanggung jawab.
Tak terasa cacing-cacing perut berteriakan kesana kemari meminta untuk di beri makan. mata tertuju pada makanan di ujung jalan sana dengan aroma khas  yang tercium di tempatku berada sekarang ini. Melihat orang-orang mengantri membeli makanan itu membuatku tertarik untuk mencicipinnya. Setelah aku lihat ternyata aroma harum yang berasal dari bakmie pok iyem. Makanan ini memang menjadi vaforit bagi pengunjung yang dating di tempat itu. Harga yang murah di tambah cita rasa yang khas membuat pngunjung berbondong-bondong datang untuk membelinya bahka sampai memesan puluhan mangkok untuk keluarganya.
“ bu, pesan bakmie satu mangkok tanpa sambal ya”. Pesanku sambil melihat kurrsi yang sudah kosong.
Duduk menikmati bakmie pok iyem dengan suasana perdesaan yang terhampar menambah suasana dihati dan melupakan sejenak dengan revisi surat perijinan gedung.
 Terlihat nenek ringkih yang datang untuk duduk sejenak diwarung penjual bakmie pok iyem dan sesekali mulutnya dibasahi dengan tetesan air yang dibawanya. Nenek itu lalu ku dekati dan mengajaknya untuk makan bersama.
“Nenek sudah makan?” Tanyaku sambil mendekatinya.
 Nenek itu hanya menggelengkan kepala, entah apa maksud dari gerakan kepala itu.
“Nenek habis dari mana?”. tanyaku kembali pada nenek itu.
Jawabanpun serupa dengan jawaban sebelumnya. Aku kembali bertanya untuk ketiga kalinya tapi jawabannya tetap sama. Pikiranku berubah dan bertanya-tanya.
“ Mungkinkan nenek ini tidak bisa bicara?. Terus kenapa dengan nenek ini. Habis darimana dia?. Wajah dan bajunya penuh dengan keringat yang menyelubungi badannya. Apakah nenek ini masih bekerja dengan badan yang seringkih ini”. Lamunku sejenak.
Nenek itu tiba-tiba pergi saat melihat sosok laki-laki tinggi dengan muka yang menyeramkan yang datang kewarung itu.
“Nenek… Nenek jangan pergi”. Teriakanku sembari membayar bakmie yang saya makan tadi.
Nenek itu dengan tertatih-tatih mecoba berlari menghindar dari laki-laki itu. Dengan mulut yang mengaung-ngaung seakan-akan meminta tolang dan ketakutan untuk menjauhkan darinya. Ku kejar nenek itu dengan menenangkannya dan membawanya ketempat yang nyaman.setelah tenang, nenek itu mulai aku ajak bicara.
“Nenek, mengapa tadi nenek berlari?”. Nenek kenal dengan orang tadi?”. Tanyaku dengan mengusap keringat yang membasahinya.
“Menggangguk”. Itulah jawaban yang diberikan kepadaku.
Pikiranku muncul kesedihan karena ternyata nenek ini tidak bisa berbicara dan aku tidak tahu mengapa dia sampai ketakutan melihat laki-laki itu.
“Nenek, Perkenalkan nama saya Mirta. Nenek tinggal dimana?”. Memperkenalkan diri sekaligus bertanya.
Bahasa tubuh yang dimilikinya, nenek ini mau menjawab dengan gerakan tangannya. Aku mulai melihat setiap gerakan yang di buat nenek itu dan akupun mengerti. Tak sia-sia dulu aku pernah belajar cara membaca lewat gerakan tangan.
Senja semakin meredup, langin mulai tak bersahabat, ku putuskan untuk mengantar nenek ini pulang kerumahnya. Terlihat pekarangan rumahnya yang bersih dan lerlihat tanaman obat-obatan disana. Mata ini tak tertuju saja pada tanaman itu. namun, asap yang keluar dari satu rumah itu. Ternya itu merupakan rumah nenek ini.  Sesampai  dirumah terlihat sosok perempuan kecil, kurus berambut cepak sedang memasak di dapur tanah dengan asap yang menggelung tinggi. Dia menyambut kami dengan lemah lembut. Ternyata cucunya nenek yang namanya Sitoh.
Pikiranku masih teringat tentang laki-laki besar yang kulihat tadi siang dan membuat nenek ini ketakutan. Ku putuskan untuk menginap di rumah ini dan merasakan hal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Sitoh melanjutkan memasaknya. Aku menghampirinya sambil melihat apa yang dimasknya di dalam panci itu. Hanya rebusan singkong hingga aku bertaya kepada Sitoh.
“Dek, sayur singkong ini mau kamu apakan?”. Tanyaku sambil mengupas bawang pih.
“Ini hanya saya rebus saja kak. Nanti buat makan malam”. Jawabnya sambil meniup kayu yang ada di tungku itu agar menyala lagi.
“Kamu sama nenekmu makan seperti ini tiap hari dek?”. Tanyaku agak prihatin.
“Ini kami sudah beruntung kak makan pakai sayur dan ada sedikit nasi di meja sana. Biasanya kami makan hanya sayur yang di ambil di perkarangan depan. Jika tananaman sayur habis, makan kami terpaksa puasa dan pergi ke pasar untuk mencari sisa sayuran yang masih layak kami makan”. Jawabnya dengan tatapan mata yang tak merasakan banhwa ini bukan penderitaan.
“Kalian tinggal berdua di sini. Kedua orang tuamu kemana dek?”. Lanjut tanyaku kembali.
“Iya kak. Kami tinggal berdua. Orang tua saya merantau ke Medan untuk bekerja”. Jawabnya dengan wajah yang tertunduk kebawah.
“Orang tuamu pernah pulang dek?.
“Begini kak, waktu itu orang tua sanya memutuskan untuk bekerja kemedan. Orang tua saya ikut perusahaan yang menaungi pekerja yang mau bekerja ke Medan. Sampai sekarang mereka belum pernah pulang. “. Menjawab dengan air mata mengalir dari pipi manisnya seakan rindu yang mendalam yang di rasakan anak itu.
“Tadi waktu ketemu nenek di jalan, beliau melihat laki-laki berbadan besar lalu ketakutan,  itu kenapa ya dek?” tanyaku kembali pada anak berambut cepak ini.
“Orang itu sering datang kesini kak, karena dulu kami pernah berhutang kepada atasannya. Waktu itu untuk biaya rang tua saya pergi ke Medan. Setelah kepergian mereka, nenek bekerja keladang orang untuk menyambung hidup dan membayar hutang. Laki-laki itu selalu mengancam nenek bila tak bisa membayar hutangnya akan mengambil aku dan akan di perkerjakan. Makanya sampai sekarang nenek merasa ketakutan melihatnya”. Jawabnya sambil menangis.
Mendengar ceritanya, air mata ini juga tak bisa terbendung untuk mangeluarkan air mata. Jaman modern yang semakin canggih ini ternyata masih ada nenek yang bekerja keras untuk mempertahankan keluarganya. Tak mau menyusahkan orang lain dan kuat untuk menghadapi cobaan yang dihadapinya.
Malampun datang, makananpun siap. Kami berkumpul bertiga merasakan makanan yang menurutku asing. Namun melihat mereka makan dengan lahap dengan tambahan sambal yang saya buat tadi membuatku ingin mencobanya dan ternyata enak. Tengah-tengah kami makan tersering canda tawa dari celotehan nenek. Ternyata nenek waktu mudanya seorang sinden di desanya. Suarana enak dan kehagatanpun sangat terasa di rumah ini.
Matahari sudah menampakan sinarnya nenandakan hari sudah pagi dan semua orang mulai beraktifitas. Waktuku di rumah keluarga segera berakhir karena aku harus kembali ke kantor untuk mengurus surat yang ku tinngal selama  satu hari kemarin. Pamitku kepada nenek dan anak kecil berambut cepak ini. Perpisahan ini berakhir dengan senyuman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

recyling

RECYCLING / PEREMAJAAN   PUYUH Peremajaan dilakukan untuk tujuan sebagai meningkatkan   kontinuitas dan efisien produksi. Biasanya...